Bab 1
Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Pada
dasarnya bahasa arab merupakan bahasa yang bahasa yang paling fusha baik itu
bahasa dalam kawasan arab pedalaman atau
yang dikatakan arab baduwi ataupun arab yang berada disekitar kota. Alasannya karna bahasa Arab tidak terkontaminasi dengan
bahasa lain. Ini disebabkab tidak adanya peradaban yang masuk di jazirah Arab.
Masuknya
Islam di Arab membuat bahasa arab ini dijadikan sebagai bahasa Agama yaitu
Agama Islam. Pada masa khalifa Al-rasyidin Islam pada saat itu sudah mulai
menyebar ke Negara tetangga inilah yang menyebabkan semakin banyaknya ummat
Islam yang ingin menguasai dan mengetahui bahasa Arab. hal ini memang
menguntungkan untuk ummat islam yang mana eksistensinya semakin dikenal dan
banyak dari kalangan non Arab yang memeluk Agama Islam. akan tetapi membuat eksistensi kefasihan bahasa arab tidak seperti dulu kala disebabkan mulai
masuknya peradaban di kawasan Arab.
Melihat
hal ini, memunculkan banyak kekhawatiran
dari bangsa Arab akan eksistensi kefasihan bahasa Arab yang mulai meredup. Dan pada masa pemerintahan
Ali Bin Abi thalib juga terjadi adanya kesalahan dalam berbicara atau
lahn. inilah faktor pendorong
rumusan ilmu nahwu yang mana peletak
dasarnya adalah Abu Aswad al-Duali yaitu seorang hakim di kota Basrah. Dari sinilah
memunculkan adanya bibit-bibit ahli
lingustik seperti al-Khalil Bin Ahmad , imam Sibawaihi yang kemudian berkembang
menjadi aliran-aliran dengan merumuskan beberapa metode yaitu metode
sima>’i, ta’lil dan giyas.
b.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Biografi
tentang al-Khalil Bin Ahmad dan Iman
Sibawaihi?
2. Bagaimana
metode sima>’i menurut al-Khalil Bin Ahmad?
3. Bagaiman
metode sima>’I menurut imam Sibawaihi?
Bab 2
Pembahasan
1.
Biografi al-Khalil Bin Ahmad
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd ar-Rahman
Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi. Beliau lahir di
Basrah pada tahun 100 H dan tinggal di sana hingga wafat tahun 170 H, atau
tahun 175 H menurut sebagian pendapat. Ayah beliau adalah orang yang pertama
kali menggunakan nama Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW.
Sejak kecil beliau senantiasa mengikuti
kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa. Guru yang paling
berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’. Beliau juga gemar
mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika.
Beliau adalah sahabat dan juga pengagum Ibn Muqoffa’. Al-Khalil membaca semua
karya terjemahan Ibn Muqoffa, dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama musik,
yang berasal dari Yunani. Beliau sangat menguasai ilmu tentang musik ini,
sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili dalam karyanya tentang
ilmu tersebut.
Al-Khalil merupakan seorang yang jenius. Beliau
tidaklah mempelajari suatu ilmu kecuali hingga sampai rinci dan dibukakan apa
yang belum diketahuinya. Benar saja apa yang dikatakan Ibn Muqoffa’ bahwa
kecerdasan (aqal) beliau lebih banyak daripada ilmu beliau. Beliau adalah
seorang yang menjadikan intelektualitas sebagai hartanya yang tak ternilai dan
bersikap zuhud dalam urusan harta benda.[1]
2.
Peran Al-Khalil dalam Ilmu Bahasa Arab
Al-Khalil adalah tokoh yang sangat vital dalam
sejarah ilmu bahasa Arab. Peran beliau dalam ilmu ini hampir meliputi semua
aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, hingga
ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.[2]
3.
Biografi Imam Sibawaihi
Nama lengkapnya Abu
Basyar Amr bin Utsman bin Qanbar. ‘Sibawaehi” sendiri sebenarnya adalah
julukan, tetapi julukan ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri.
Julukan ini dipandang unik, karena belum ada orang yang mendapat julukan yang
sama sebelumnya. “Sibawaehi” berasal dari bahasa Persia, sekaligus menunjukkan
bahwa ia adalah orang Persia, (sib = buah apel; waih = wangi) yang berarti
wangi nya buah apel”. Adapula yang mengatakan karena kedua pipinya bagai dua
buah apel .
Beliau diperkirakan lahir tahun 137 H di Ahwaz (Persia), ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di sebuah kampung Syiraz yang bernama al-Baidha’, (Persia). Beliau wafat pada usia belia pada tahun 177 H. sekitar 40 tahun. Pada usia muda ia sudah rajin mengunjungi pengajian dalam bidang fikih dan hadits. Dalam ilmu hadis berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H), seorang ahli hadis terkenal pada masanya, yang juga mendalami ilmu nahwu (gramatika) dan saraf (morfologi) serta pernah menduduki jabatan mufti kola Basra.
Ketika belajar hadis kepada Hammad, Sibawaehi memprotes gurunya tentang bacaan suatu matan hadits dari segi nahwu, namun ternyata justru Sibawaehilah yang salah. Dan tampaknya inilah awal yang memicu Sibawaih untuk mendalami bahasa Arab. Ia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahli, seperti Isa bin Amr al-S|aqafi al-Bas}ri (ahli nahwu, saraf dan qira’ah, w. 149 H), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Bas}ri (ahli nahwu yang mengajar beberapa halaqah, w. 177 H), Harun in Musa al-Basri (ahli qira’ah, w. 170 H), Abu Amr al-Ala’ (ahli qira’ah, w. 154 H), dan al-Khalil bin Ahmad al- Tamim al-Farahidi (Ahli bahasa Arab dan nahwu yang paling terkenal di Basra ketika itu, VV. 175 H). Pada al-Khalil inilah Sibawaehi paling lama dan serius belajar bahasa Arab karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaehi mewarisi seluruh ilmu gurunya ini, terutama dalam nahwu dan saraf. Hubungan antara guru dan menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua bekerja sama dalam pengembangan bahasa Arab, dan bersama gurunya ia menciptakan al-’arud (metrik).
Popularitas Sibawaehi sebagai seorang linguist mulai terdengar dimana-mana hingga suatu ketika ia diundang ke Bagdad untuk sebuah debat terbuka. Debat terbuka yang dihadiri Khalifah ketika itu, ternyata telah didesain sedemikian rupa untuk menjatuhkan karir Sibawaih. Di hadapan audiens dan para pakar bahasa, Sibawaehi yang mewakili mazhab Bashrah kalah berdebat dengan al-Kisai yang mewakili mazhab Kufah. Al-Kisai mengajukan pertanyaan yang sulit kepada Sibawaih kemudian yang dijadikan sebagai “dewan hakim” adalah para supporter al-Kisai sendiri. Akhir cerita Sibawaehi dinyatakan salah meskipun belakangan para pakar nahwu menganggap Sibawaehi yang benar. Konon peristiwa ini sangat memukul Sibawaehi dan membuat dia sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam usia muda.[3]
Beliau diperkirakan lahir tahun 137 H di Ahwaz (Persia), ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di sebuah kampung Syiraz yang bernama al-Baidha’, (Persia). Beliau wafat pada usia belia pada tahun 177 H. sekitar 40 tahun. Pada usia muda ia sudah rajin mengunjungi pengajian dalam bidang fikih dan hadits. Dalam ilmu hadis berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H), seorang ahli hadis terkenal pada masanya, yang juga mendalami ilmu nahwu (gramatika) dan saraf (morfologi) serta pernah menduduki jabatan mufti kola Basra.
Ketika belajar hadis kepada Hammad, Sibawaehi memprotes gurunya tentang bacaan suatu matan hadits dari segi nahwu, namun ternyata justru Sibawaehilah yang salah. Dan tampaknya inilah awal yang memicu Sibawaih untuk mendalami bahasa Arab. Ia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahli, seperti Isa bin Amr al-S|aqafi al-Bas}ri (ahli nahwu, saraf dan qira’ah, w. 149 H), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Bas}ri (ahli nahwu yang mengajar beberapa halaqah, w. 177 H), Harun in Musa al-Basri (ahli qira’ah, w. 170 H), Abu Amr al-Ala’ (ahli qira’ah, w. 154 H), dan al-Khalil bin Ahmad al- Tamim al-Farahidi (Ahli bahasa Arab dan nahwu yang paling terkenal di Basra ketika itu, VV. 175 H). Pada al-Khalil inilah Sibawaehi paling lama dan serius belajar bahasa Arab karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaehi mewarisi seluruh ilmu gurunya ini, terutama dalam nahwu dan saraf. Hubungan antara guru dan menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua bekerja sama dalam pengembangan bahasa Arab, dan bersama gurunya ia menciptakan al-’arud (metrik).
Popularitas Sibawaehi sebagai seorang linguist mulai terdengar dimana-mana hingga suatu ketika ia diundang ke Bagdad untuk sebuah debat terbuka. Debat terbuka yang dihadiri Khalifah ketika itu, ternyata telah didesain sedemikian rupa untuk menjatuhkan karir Sibawaih. Di hadapan audiens dan para pakar bahasa, Sibawaehi yang mewakili mazhab Bashrah kalah berdebat dengan al-Kisai yang mewakili mazhab Kufah. Al-Kisai mengajukan pertanyaan yang sulit kepada Sibawaih kemudian yang dijadikan sebagai “dewan hakim” adalah para supporter al-Kisai sendiri. Akhir cerita Sibawaehi dinyatakan salah meskipun belakangan para pakar nahwu menganggap Sibawaehi yang benar. Konon peristiwa ini sangat memukul Sibawaehi dan membuat dia sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam usia muda.[3]
4.
Metode Sima>’I
Ahli
al-Badiyah (al-Badwi) sebagai pemegang otoritas. Salah satu unsur terpenting
dan utama yang menjadi pilar bagi tatabangun Ilmu Nahwu adalah al-Sima’ yang
secara harfiah bearti “mendengar atau mendengarkan”. Tetapi kata tersebut
memiliki pengertian yang lebih luas dari sekeda arti di atas. Al-Sima’ dalam
konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan
oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk
memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi.
Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya
daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah
budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang
diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu
menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau
pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits.
Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di
daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut
dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb. Oleh karena itu, para ahli bahasa dan
nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, mereka selalu menjadikan
al-A’rab atau ahli al-Badwi sebagai rujukan dalam persoalan kebahasaan meskipun
dalam tingkat dan kadar kekritisan yang berbeda-beda antara satu ahli dengan
yang lain. Para ahli Nahwu mazhab Basrah dan Kufah, misalnya, meskipun mereka
sama-sama mencari legitimasi dan refrensi dari al-A’rab, tetapi mereka memiliki
pandangan yang berbeda dalam menilai informasi yang dapat dari al-A’rab. Dalam
pandangan orang Kufah, semua yang mereka dengar dan dikatakan oleh al-A’rab
mereka anggap valid dan original sehingga sah dan dapat dijadikan sebagai
standar kebenaran sebuah teori untuk menentukan kaidah kebahasaan. Akibatnya,
nahwu mazhab Kufah cenderung lebih memiliki banyak variasi dan lebih longgar
dalam merumuskan kaidah-kaidah nahwu mereka. Sebab, suatu ketentuan kaidah
dalam sistem gramatika mazhab tersebut bisa mereka tetapkan hanya berdasarkan
dan mengacu pada sebuah bait puisi masyarakat badui sebagai pijakan atau
rujukan penetapannya.
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahasa Arab Bashrah.[4]
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahasa Arab Bashrah.[4]
5.
Sima’,
Ta’lil Dan Qiyas Menurut Khalil
Al-Khalil mendasarkan penyusunan
kaidah-kaidah tata bahasa Arab dengan tiga macam metode, yaitu dengan mendengar
(sima’), membuat alasan (ta’lil), dan membuat analogi (qiyas).
Metode yang pertama, sima’,
beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an
atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya.
Beliau banyak menggunakan puisi-puisi badui dan perkataan mereka untuk kemudian
menyusun teori atau kaidah secara induktif darinya. Dalam hal ini, Al-Khalil
tidak mengindahkan para perawi hadits karena kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang non-arab.
Metode yang kedua, yaitu ta’lil,
menyatakan kepastian adanya penyebab (‘illah) dalam i’rab.
Dalam hal ini, dicontohkan bahwa hukum asal dari isim adalah mu’rab,
sedangkan isim-isim yang mabni adalah karena terdapat ‘illah berupa
keserupaan dengan kalimah huruf. Hukum asal selain isim adalah
mabni.
Metode yang ketiga, yaitu qiyas,
yaitu membuat ukuran atau kaidah dari perkataan orang Arab kemudian
menerapkannya dalam kasus yang lainnya. Tentang qiyas ini, Syauqi
dalam bukunya banyak menerangkannya dengan langsung menukil redaksi Sibawaih
dalam bukunya. Sibawaih mencontohkan qiyas ini dengan apa yang berlaku
dalam perbedaan i’rab dalam munada. Dari konsep qiyas ini
kemudian muncul istilah syadz bagi perkataan yang tidak sesuai dengan
ukuran atau kaidah qiyas.[5]
Demikianlah, Al-Khalil bin Ahmad serta
muridnya, Sibawaih, adalah dua orang tokoh terpenting dalam ilmu Nahwu.
6- السماع عند الخليل
إن أصول النحو التي استقر عليها في عصر الخليل وشارك في
إقامتها شيوخه أبو عمرو بن العلاء وعيسى بن عمر وغيرهما هي التي سار عليها
النحويين بعد ذلك سواء في البصرة أو في الآفاق التي شاعت فيها مدرسة النحو العربي
وهذه
- السماع
- السماع
لقد سلك الخليل سبيل
شيخه أبي عمرو في سعة سماعه عن العرب وكثرة رحلاته إليهم فقد رويت لأبي عمرو أقوال
في تحديد القبائل الفصيحة وذكرت له أحكام في الأفصح منها والأنقى لساناً بعد سماع
كلامهم من مواطنه[6]
وكذلك كانت للخليل رحلة للحج بين عام وعام
كما تروي له كتب الطبقات وكان يسمع
كلام العرب في بواديهم وتداول الحديث عن الكثير من اساليبهم .
ظهر ذلك في اقيسته وأحكامه على أساليب الكلام وظواهره نقرأ ذلك كله في الكتاب . إن
مصادره اللغوية هي مصادر النحو العربي وأهمها :
(أ) القرآن الكريم وقراءته :
النحويون الأوائل جميعاً كانوا أما قراء وأما رواة للقراءات لذا نجدهم قد اتخذوا من القرآن الكريم وقراءاته مصدراً مهماً من مصادرهم اللغوية في التعقيد فأكثروا من الاستشهاد منه ، فقد بلغت الشواهد القرآنية في الكتاب ( 373 ) وتجاوزت في المقتضب للمبرد خمسمائة آية وهكذا ضل القرآن الكريم وقراءاته من مصادر النحويين المهمة : والموقف من القراءات في ( الكتاب ) كان موقف الخليل ومن اخذ عنهم وأهمهم أبو عمرو بن العلاء احد القراء السبعة وعيسى بن عمر احد رواة القراءات وكان موقفاً لغوياً سليماً ، فهو يستشهد بالقرآن لإثبات حكم لغوي كما يستشهد بالشعر لذلك أيضا إذ كان يقبل القراءة غير معترض عليها مادامت صحيحة السند موافقة للعربية يقيس عليها كما يقيس على الأكثر الاشيع في لغة العرب أما ما كان على غرار النادر أو القليل فحكمه حكم النادر القليل في كلامهم إذ انعكست في القراءات الظواهر اللغوية للسان العرب ، ولما كان هم العلماء آنذاك إقامة قواعد للغة واضحة وبعيدة عن اللبس والخلط وجدنا الأحكام اللغوية لديه تأخذ اتجاهين : احدهما ما يراد الأخذ به وهو الشائع الفصيح التي تتوافر فيه أسباب الفصاحة والأصالة اللسانية والثاني مايروي لأنه مأخوذ عن فصحاء إلا أن لا ينصف بما أنصف به السابق من أسباب الفصاحة ، لذا جاءت جملة من الظواهر اللهجية في القراءات مروية إلا أنها لا يقاس عليها أعدت من قبيل الضرورات في الشعر فكانت القراءات الموصوفة بالصحة وهي السبع وما في مستواها هي الأقوى في الاستشهاد . دور البصرة في نشأة الدراسات النحوية مرحلة النضج ـ 7 ـ
(أ) القرآن الكريم وقراءته :
النحويون الأوائل جميعاً كانوا أما قراء وأما رواة للقراءات لذا نجدهم قد اتخذوا من القرآن الكريم وقراءاته مصدراً مهماً من مصادرهم اللغوية في التعقيد فأكثروا من الاستشهاد منه ، فقد بلغت الشواهد القرآنية في الكتاب ( 373 ) وتجاوزت في المقتضب للمبرد خمسمائة آية وهكذا ضل القرآن الكريم وقراءاته من مصادر النحويين المهمة : والموقف من القراءات في ( الكتاب ) كان موقف الخليل ومن اخذ عنهم وأهمهم أبو عمرو بن العلاء احد القراء السبعة وعيسى بن عمر احد رواة القراءات وكان موقفاً لغوياً سليماً ، فهو يستشهد بالقرآن لإثبات حكم لغوي كما يستشهد بالشعر لذلك أيضا إذ كان يقبل القراءة غير معترض عليها مادامت صحيحة السند موافقة للعربية يقيس عليها كما يقيس على الأكثر الاشيع في لغة العرب أما ما كان على غرار النادر أو القليل فحكمه حكم النادر القليل في كلامهم إذ انعكست في القراءات الظواهر اللغوية للسان العرب ، ولما كان هم العلماء آنذاك إقامة قواعد للغة واضحة وبعيدة عن اللبس والخلط وجدنا الأحكام اللغوية لديه تأخذ اتجاهين : احدهما ما يراد الأخذ به وهو الشائع الفصيح التي تتوافر فيه أسباب الفصاحة والأصالة اللسانية والثاني مايروي لأنه مأخوذ عن فصحاء إلا أن لا ينصف بما أنصف به السابق من أسباب الفصاحة ، لذا جاءت جملة من الظواهر اللهجية في القراءات مروية إلا أنها لا يقاس عليها أعدت من قبيل الضرورات في الشعر فكانت القراءات الموصوفة بالصحة وهي السبع وما في مستواها هي الأقوى في الاستشهاد . دور البصرة في نشأة الدراسات النحوية مرحلة النضج ـ 7 ـ
السماع عند السبويه
يعد السماع «الأساس الذي يقوم عليه
المنهج الوصفي، وذلك لأن الخطوات التالية للبحث، تكون بعد جمع المادة التي تجري
ملاحظتها ودرسها»[7]. ومن خلال تتبعنا للكتاب نلاحظ أن سيبويه،
«أقام قواعده علي الاستعمال اللغوي»[8]، واهتم بالمسموع من اللغة جرياً علي طريقة أساتذته، ومنهجهم في
وصف اللغة، إيماناً منه بأن اللغة المجموعة عن طريق السماع، تجعل البحث العلمي
واقعياً من خلال: ربطه باللغة، ومن خلاف الوقوف علي العادات النطقية لمتكلمي
اللغة، بالإضافة إلي صدق الأحكام اللغوية المستقراة، وذلك لأنه، يتم وصف اللغة عن
طريق الاتصال المباشر بالمتكلمين، والسماع من أفواههم .[9]
أما مصادر سيبويه في السماع فهي تتنوع
بين :
أ. الأخذ المباشر من أفواه العرب، ويشترط في السماع المباشر
الفصاحة والثقة ونحو ذلك: «سمعنا العرب الموثوق بهم»، «سمعنا فصحاء العرب من يقول: ممن يوثق به»، «سمعت من أثق به من العرب». وقد يكتفي بذكر
السماع عن العرب من غير أن يقرن ذلك بالفصاحة، والثقة. «سمعنا من العرب»، «سمعنا
من العرب »، «سمعنا من بعض العرب».
ب.
السماع عن طريق شيوخه: فقد اعتمد علي شيوخه في جمع المادة وهم الخليل بن أحمد الفراهيدي (ت 175 ه )،
يونس بن حبيب (ت 183)، أبو زيد الأنصاري (ت 215 ه
).
ج
ومن باب حرصه علي الأخذ من أفواه العرب تأييده المسموع من شيوخه بكلام العرب، علي
الرغم من كون شيوخه من الثقة بالمنزلة التي لا يمكن وذلك قوله: «ويونس يقول: هذا
مثلك مقيلاً، وهذا زيد معها الطعن فيهم مثلك إذا قدمه جعله معرفة، وإذا أخره جعله
نكرة، ومن العرب من يوافقه علي ذلك).
د. أخذه اللغة عن عربي واحد، أو عن اثنين، وهذا ما يسمي
بالراوي، فهو الممثل الحقيقي للغة، والمعبّر الصادق عنها، ([10]) من ذلك قوله «سمعت أعرابياً» وقد يصرح بإسم
القبيلة المسموع عنها ومن ذلك : بنو سليم، خثعل، أسد، الحجاز، بنو تميم) وقد لا يصرح، ويكتفي بقوله: «ناساً من العرب)).
وهو
حين توضع القواعد وتعارض الاستعمال اللغوي، يؤيد الاستعمال اللغوي، ويقبح أقوال
النحاة، لمخالفتها الاستعمال، وما نطقت به العرب، فانظر إليه يقول: «هذا باب ما
استكرهه النحويون، وهو قبيح فوضعوا الكلام فيه علي غير ما وضعت العرب)).
فهو
يصف استكراه النحويين بالقبح وما ذلك؛ إلاّ لأنها تتعارض مع واقع الاستعمال عند
العرب، ويؤكد ذلك أحمد ياقوت بقوله: «عندما يتعارض المجالان (أقوال النحاة، الاستعمال عند العرب)
فإن سيبويه يحكم علي الأول بالقبح، وعلي الثاني بالحسن، ويقرر أن الأحكام إنما
تجري علي [11]كلام
العرب)).
يقول سيبويه: «فأجريتها علي ما أجرتها العرب». فهذا هو أساس المنهج الوصفي وصف كلام العرب كما هو، كما يجب
أن يكون حسب معايير النحاة، فالوصفية: «أن تضع اللفظ علي ما وضعته العرب»([12])
متحكماً
بذلك، إلي واقع الاستعمال اللغوي عندهم، لا إلي التصورات الذهنية، التي قد اقترضها
النحاة ووضعوها.
Bab 111
Kesimpulan
1. Metode sima’ dalam
konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan
oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk
memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi
2.
metode sima’ menurut khalil beliau lakukan dengan jalan
mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan
penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya.
3.
Metode sima’ menurut imam sibawaihi memiliki kesamaan dengan metode
sima’ menurut khalil yang mana metode ini dilakukan dengan mendengarkan secara
langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa
dipercaya kefasihannya atau a’rab Badui.
Daftar pustaka
Dhaif ,Syauqi
Al-Madaris
An-Nahwiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976. file:///D:/sejarah%20ilmu%20nahwu/2011_06_01_archive.html
العلاء، أبو عمرو بن.
. زهير زاهد. جهوده في القراءة
والنحو. دون المكان : د مركز
دراسات الخليج العربي البصرة 1987
حسان تمام ، اللغبة بين المعيارية والوصفية، المغرب :دار
الثقافة، 1980.
الراجحي، عبده. النحو العربي والدرس الحديث. بيروت: دار
النهضة العربية ، .1979
أحمد، نوزاد حسن. المنهج الوصفي في كتاب
سيبويه. بنغاري: منشورات جامعة قان
يونس، 1996.
ياقوت، أحمد سليمان. الكتاب بين المعيارية والوصفية الاسكندرية دار: المعرفة الجامعية، 1989