Sabtu, 13 April 2013

metode sima'i menurut al-Khalil Bin Ahmad dan Iman Sibawaihi


Bab 1
Pendahuluan
a.       Latar Belakang
Pada dasarnya bahasa arab merupakan bahasa yang bahasa yang paling fusha baik itu bahasa dalam  kawasan arab pedalaman atau yang dikatakan arab baduwi ataupun arab yang berada disekitar kota. Alasannya  karna bahasa Arab tidak terkontaminasi dengan bahasa lain. Ini disebabkab tidak adanya peradaban yang masuk di jazirah Arab.
Masuknya Islam di Arab membuat bahasa arab ini dijadikan sebagai bahasa Agama yaitu Agama Islam. Pada masa khalifa Al-rasyidin Islam pada saat itu sudah mulai menyebar ke Negara tetangga inilah yang menyebabkan semakin banyaknya ummat Islam yang ingin menguasai dan mengetahui bahasa Arab. hal ini memang menguntungkan untuk ummat islam yang mana eksistensinya semakin dikenal dan banyak dari kalangan non Arab yang memeluk Agama Islam. akan tetapi  membuat eksistensi kefasihan bahasa arab  tidak seperti dulu kala disebabkan mulai masuknya peradaban di kawasan Arab.
Melihat hal ini, memunculkan  banyak kekhawatiran dari bangsa Arab akan eksistensi kefasihan bahasa Arab  yang mulai meredup. Dan pada masa pemerintahan  Ali Bin Abi thalib  juga terjadi adanya kesalahan dalam berbicara atau lahn.  inilah faktor pendorong rumusan   ilmu nahwu yang mana peletak dasarnya adalah Abu Aswad al-Duali yaitu  seorang hakim di kota Basrah. Dari sinilah memunculkan adanya bibit-bibit  ahli lingustik seperti al-Khalil Bin Ahmad , imam Sibawaihi yang kemudian berkembang menjadi aliran-aliran dengan merumuskan beberapa metode yaitu metode sima>’i, ta’lil dan giyas.
b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi tentang  al-Khalil Bin Ahmad dan Iman Sibawaihi?
2.      Bagaimana metode sima>’i menurut al-Khalil Bin Ahmad?
3.      Bagaiman metode sima>’I menurut imam Sibawaihi?








Bab 2
Pembahasan
1.      Biografi al-Khalil Bin Ahmad
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 100 H dan tinggal di sana hingga wafat tahun 170 H, atau tahun 175 H menurut sebagian pendapat. Ayah beliau adalah orang yang pertama kali menggunakan nama Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW.
Sejak kecil beliau senantiasa mengikuti kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa. Guru yang paling berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’. Beliau juga gemar mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika. Beliau adalah sahabat dan juga pengagum Ibn Muqoffa’. Al-Khalil membaca semua karya terjemahan Ibn Muqoffa, dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama musik, yang berasal dari Yunani. Beliau sangat menguasai ilmu tentang musik ini, sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili dalam karyanya tentang ilmu tersebut.
Al-Khalil merupakan seorang yang jenius. Beliau tidaklah mempelajari suatu ilmu kecuali hingga sampai rinci dan dibukakan apa yang belum diketahuinya. Benar saja apa yang dikatakan Ibn Muqoffa’ bahwa kecerdasan (aqal) beliau lebih banyak daripada ilmu beliau. Beliau adalah seorang yang menjadikan intelektualitas sebagai hartanya yang tak ternilai dan bersikap zuhud dalam urusan harta benda.[1]
2.      Peran Al-Khalil dalam Ilmu Bahasa Arab
Al-Khalil adalah tokoh yang sangat vital dalam sejarah ilmu bahasa Arab. Peran beliau dalam ilmu ini hampir meliputi semua aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, hingga ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.[2]
3.    Biografi Imam Sibawaihi
Nama lengkapnya Abu Basyar Amr bin Utsman bin Qanbar. ‘Sibawaehi” sendiri sebenarnya adalah julukan, tetapi julukan ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada orang yang mendapat julukan yang sama sebelumnya. “Sibawaehi” berasal dari bahasa Persia, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah orang Persia, (sib = buah apel; waih = wangi) yang berarti wangi nya buah apel”. Adapula yang mengatakan karena kedua pipinya bagai dua buah apel     .
Beliau diperkirakan lahir tahun 137 H di Ahwaz (Persia), ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di sebuah kampung Syiraz yang bernama al-Baidha’, (Persia). Beliau wafat pada usia belia pada tahun  177 H. sekitar 40 tahun. Pada usia muda ia sudah rajin mengunjungi pengajian dalam bidang fikih dan hadits. Dalam ilmu hadis  berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H), seorang ahli hadis terkenal pada masanya, yang juga mendalami ilmu nahwu (gramatika) dan saraf (morfologi) serta pernah menduduki jabatan mufti kola Basra.
Ketika belajar hadis kepada Hammad, Sibawaehi memprotes gurunya tentang bacaan suatu matan hadits dari segi nahwu, namun ternyata justru Sibawaehilah yang salah. Dan tampaknya inilah awal yang memicu Sibawaih untuk mendalami bahasa Arab. Ia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahli, seperti Isa bin Amr al-S|aqafi al-Bas}ri (ahli nahwu, saraf dan qira’ah, w. 149 H), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Bas}ri (ahli nahwu yang mengajar beberapa halaqah, w. 177 H), Harun in Musa al-Basri (ahli qira’ah, w. 170 H), Abu Amr al-Ala’ (ahli qira’ah, w. 154 H), dan al-Khalil bin Ahmad al- Tamim al-Farahidi (Ahli bahasa Arab dan nahwu yang paling terkenal di Basra ketika itu, VV. 175 H). Pada al-Khalil inilah Sibawaehi paling lama dan serius belajar bahasa Arab  karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaehi  mewarisi seluruh ilmu gurunya ini, terutama dalam nahwu dan saraf. Hubungan antara guru dan menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua bekerja sama dalam pengembangan bahasa Arab, dan bersama gurunya  ia menciptakan al-’arud (metrik).
Popularitas Sibawaehi sebagai seorang linguist mulai terdengar dimana-mana hingga suatu ketika ia diundang ke Bagdad untuk sebuah debat terbuka. Debat terbuka yang dihadiri Khalifah ketika itu, ternyata telah didesain sedemikian rupa untuk menjatuhkan karir Sibawaih. Di hadapan audiens dan para pakar bahasa, Sibawaehi yang mewakili mazhab Bashrah kalah berdebat dengan al-Kisai yang mewakili mazhab Kufah. Al-Kisai mengajukan pertanyaan yang sulit kepada Sibawaih kemudian yang dijadikan sebagai “dewan hakim” adalah para supporter al-Kisai sendiri. Akhir cerita Sibawaehi dinyatakan salah meskipun belakangan para pakar nahwu menganggap Sibawaehi yang benar.  Konon peristiwa ini sangat memukul Sibawaehi dan membuat dia sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam usia muda.[3]
4.    Metode Sima>’I
Ahli al-Badiyah (al-Badwi) sebagai pemegang otoritas. Salah satu unsur terpenting dan utama yang menjadi pilar bagi tatabangun Ilmu Nahwu adalah al-Sima’ yang secara harfiah bearti “mendengar atau mendengarkan”. Tetapi kata tersebut memiliki pengertian yang lebih luas dari sekeda arti di atas. Al-Sima’ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb. Oleh karena itu, para ahli bahasa dan nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, mereka selalu menjadikan al-A’rab atau ahli al-Badwi sebagai rujukan dalam persoalan kebahasaan meskipun dalam tingkat dan kadar kekritisan yang berbeda-beda antara satu ahli dengan yang lain. Para ahli Nahwu mazhab Basrah dan Kufah, misalnya, meskipun mereka sama-sama mencari legitimasi dan refrensi dari al-A’rab, tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai informasi yang dapat dari al-A’rab. Dalam pandangan orang Kufah, semua yang mereka dengar dan dikatakan oleh al-A’rab mereka anggap valid dan original sehingga sah dan dapat dijadikan sebagai standar kebenaran sebuah teori untuk menentukan kaidah kebahasaan. Akibatnya, nahwu mazhab Kufah cenderung lebih memiliki banyak variasi dan lebih longgar dalam merumuskan kaidah-kaidah nahwu mereka. Sebab, suatu ketentuan kaidah dalam sistem gramatika mazhab tersebut bisa mereka tetapkan hanya berdasarkan dan mengacu pada sebuah bait puisi masyarakat badui sebagai pijakan atau rujukan penetapannya.
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahasa Arab  Bashrah.[4]
5.    Sima’, Ta’lil Dan Qiyas Menurut Khalil
Al-Khalil mendasarkan penyusunan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dengan tiga macam metode, yaitu dengan mendengar (sima’), membuat alasan (ta’lil), dan membuat analogi (qiyas).
Metode yang pertama, sima’, beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya. Beliau banyak menggunakan puisi-puisi badui dan perkataan mereka untuk kemudian menyusun teori atau kaidah secara induktif darinya. Dalam hal ini, Al-Khalil tidak mengindahkan para perawi hadits karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang non-arab.
Metode yang kedua, yaitu ta’lil, menyatakan kepastian adanya penyebab (‘illah) dalam i’rab. Dalam hal ini, dicontohkan bahwa hukum asal dari isim adalah mu’rab, sedangkan isim-isim yang mabni adalah karena terdapat ‘illah berupa keserupaan dengan kalimah huruf. Hukum asal selain isim adalah mabni.
Metode yang ketiga, yaitu qiyas, yaitu membuat ukuran atau kaidah dari perkataan orang Arab kemudian menerapkannya dalam kasus yang lainnya. Tentang qiyas ini, Syauqi dalam bukunya banyak menerangkannya dengan langsung menukil redaksi Sibawaih dalam bukunya. Sibawaih mencontohkan qiyas ini dengan apa yang berlaku dalam perbedaan i’rab dalam munada. Dari konsep qiyas ini kemudian muncul istilah syadz bagi perkataan yang tidak sesuai dengan ukuran atau kaidah qiyas.[5]
Demikianlah, Al-Khalil bin Ahmad serta muridnya, Sibawaih, adalah dua orang tokoh terpenting dalam ilmu Nahwu.
  6-  السماع عند الخليل
إن أصول النحو التي استقر عليها في عصر الخليل وشارك في إقامتها شيوخه أبو عمرو بن العلاء وعيسى بن عمر وغيرهما هي التي سار عليها النحويين بعد ذلك سواء في البصرة أو في الآفاق التي شاعت فيها مدرسة النحو العربي وهذه
- السماع
 لقد سلك الخليل سبيل شيخه أبي عمرو في سعة سماعه عن العرب وكثرة رحلاته إليهم فقد رويت لأبي عمرو أقوال في تحديد القبائل الفصيحة وذكرت له أحكام في الأفصح منها والأنقى لساناً بعد سماع كلامهم من مواطنه[6]  وكذلك كانت للخليل رحلة للحج بين عام وعام كما تروي له كتب الطبقات وكان يسمع
كلام العرب في بواديهم وتداول الحديث عن الكثير من اساليبهم . ظهر ذلك في اقيسته وأحكامه على أساليب الكلام وظواهره نقرأ ذلك كله في الكتاب . إن مصادره اللغوية هي مصادر النحو العربي وأهمها :
(أ) القرآن الكريم وقراءته :
          النحويون الأوائل جميعاً كانوا أما قراء وأما رواة للقراءات لذا نجدهم قد اتخذوا من القرآن الكريم وقراءاته مصدراً مهماً من مصادرهم اللغوية في التعقيد فأكثروا من الاستشهاد منه ، فقد بلغت الشواهد القرآنية في الكتاب ( 373 ) وتجاوزت في المقتضب للمبرد خمسمائة آية وهكذا ضل القرآن الكريم وقراءاته من مصادر النحويين المهمة : والموقف من القراءات في ( الكتاب ) كان موقف الخليل ومن اخذ عنهم وأهمهم أبو عمرو بن العلاء احد القراء السبعة وعيسى بن عمر احد رواة القراءات وكان موقفاً لغوياً سليماً ، فهو يستشهد بالقرآن لإثبات حكم لغوي كما يستشهد بالشعر لذلك أيضا إذ كان يقبل القراءة غير معترض عليها مادامت صحيحة السند موافقة للعربية يقيس عليها كما يقيس على الأكثر الاشيع في لغة العرب أما ما كان على غرار النادر أو القليل فحكمه حكم النادر القليل في كلامهم إذ انعكست في القراءات الظواهر اللغوية للسان العرب ، ولما كان هم العلماء آنذاك إقامة قواعد للغة واضحة وبعيدة عن اللبس والخلط وجدنا الأحكام اللغوية لديه تأخذ اتجاهين : احدهما ما يراد الأخذ به وهو الشائع الفصيح التي تتوافر فيه أسباب الفصاحة والأصالة اللسانية والثاني مايروي لأنه مأخوذ عن فصحاء إلا أن لا ينصف بما أنصف به السابق من أسباب الفصاحة ، لذا جاءت جملة من الظواهر اللهجية في القراءات مروية إلا أنها لا يقاس عليها أعدت من قبيل الضرورات في الشعر فكانت القراءات الموصوفة بالصحة وهي السبع وما في مستواها هي الأقوى في الاستشهاد .  دور البصرة في نشأة الدراسات النحوية مرحلة النضج ـ 7 ـ
السماع عند السبويه
يعد السماع «الأساس الذي يقوم عليه المنهج الوصفي، وذلك لأن الخطوات التالية للبحث، تكون بعد جمع المادة التي تجري ملاحظتها ودرسها»[7]. ومن خلال تتبعنا للكتاب نلاحظ أن سيبويه، «أقام قواعده علي الاستعمال اللغوي»[8]، واهتم بالمسموع من اللغة جرياً علي طريقة أساتذته، ومنهجهم في وصف اللغة، إيماناً منه بأن اللغة المجموعة عن طريق السماع، تجعل البحث العلمي واقعياً من خلال: ربطه باللغة، ومن خلاف الوقوف علي العادات النطقية لمتكلمي اللغة، بالإضافة إلي صدق الأحكام اللغوية المستقراة، وذلك لأنه، يتم وصف اللغة عن طريق الاتصال المباشر بالمتكلمين، والسماع من أفواههم                                 .[9]
أما مصادر سيبويه في السماع فهي تتنوع بين :
أ. الأخذ المباشر من أفواه العرب، ويشترط في السماع المباشر الفصاحة والثقة ونحو ذلك: «سمعنا العرب الموثوق بهم»، «سمعنا فصحاء العرب من يقول: ممن يوثق به»، «سمعت من أثق به من العرب». وقد يكتفي بذكر السماع عن العرب من غير أن يقرن ذلك بالفصاحة، والثقة. «سمعنا من العرب»، «سمعنا من العرب             »، «سمعنا من بعض العرب».
ب. السماع عن طريق شيوخه: فقد اعتمد علي شيوخه في جمع المادة وهم الخليل بن أحمد الفراهيدي (ت 175 ه )، يونس بن حبيب (ت 183)، أبو زيد الأنصاري (ت 215 ه                                                      ).
ج ومن باب حرصه علي الأخذ من أفواه العرب تأييده المسموع من شيوخه بكلام العرب، علي الرغم من كون شيوخه من الثقة بالمنزلة التي لا يمكن وذلك قوله: «ويونس يقول: هذا مثلك مقيلاً، وهذا زيد معها الطعن فيهم مثلك إذا قدمه جعله معرفة، وإذا أخره جعله نكرة، ومن العرب من يوافقه علي ذلك).                                                                              
د. أخذه اللغة عن عربي واحد، أو عن اثنين، وهذا ما يسمي بالراوي، فهو الممثل الحقيقي للغة، والمعبّر الصادق عنها، ([10]) من ذلك قوله «سمعت أعرابياً» وقد يصرح بإسم القبيلة المسموع عنها ومن ذلك : بنو سليم، خثعل، أسد، الحجاز، بنو تميم) وقد لا يصرح، ويكتفي بقوله: «ناساً من   العرب)).                                                                        
وهو حين توضع القواعد وتعارض الاستعمال اللغوي، يؤيد الاستعمال اللغوي، ويقبح أقوال النحاة، لمخالفتها الاستعمال، وما نطقت به العرب، فانظر إليه يقول: «هذا باب ما استكرهه النحويون، وهو قبيح فوضعوا الكلام فيه علي غير ما وضعت العرب)).                                    
فهو يصف استكراه النحويين بالقبح وما ذلك؛ إلاّ لأنها تتعارض مع واقع الاستعمال عند العرب، ويؤكد ذلك أحمد ياقوت بقوله: «عندما يتعارض المجالان (أقوال النحاة، الاستعمال عند العرب) فإن سيبويه يحكم علي الأول بالقبح، وعلي الثاني بالحسن، ويقرر أن الأحكام إنما تجري علي [11]كلام العرب)).                                                                 
يقول سيبويه: «فأجريتها علي ما أجرتها العرب». فهذا هو أساس المنهج الوصفي وصف كلام العرب كما هو، كما يجب أن يكون حسب معايير النحاة، فالوصفية: «أن تضع اللفظ علي ما وضعته العرب»([12]) متحكماً بذلك، إلي واقع الاستعمال اللغوي عندهم، لا إلي التصورات الذهنية، التي قد اقترضها النحاة ووضعوها.








                                
Bab 111
Kesimpulan
1.      Metode sima’ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi
2.      metode sima’ menurut khalil beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya.
3.      Metode sima’ menurut imam  sibawaihi memiliki kesamaan dengan metode sima’ menurut khalil yang mana metode ini dilakukan dengan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya atau a’rab Badui.






Daftar pustaka
Dhaif ,Syauqi  Al-Madaris An-Nahwiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976.      file:///D:/sejarah%20ilmu%20nahwu/2011_06_01_archive.html
العلاء، أبو عمرو بن. . زهير زاهد.  جهوده في القراءة والنحو.  دون المكان : د مركز دراسات الخليج العربي البصرة 1987        
حسان تمام ، اللغبة بين المعيارية والوصفية، المغرب :دار الثقافة، 1980.
الراجحي، عبده.  النحو العربي والدرس الحديث. بيروت: دار النهضة العربية ، .1979          
 أحمد، نوزاد حسن. المنهج الوصفي في كتاب سيبويه.  بنغاري: منشورات جامعة قان يونس، 1996.             
  ياقوت، أحمد سليمان.  الكتاب بين المعيارية والوصفية  الاسكندرية دار:          المعرفة الجامعية، 1989  






[1] Syauqi Dhaif, Al-Madaris An-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 30.
[2] Ebid.,
                [3] http://surabifaiz.blogspot.com/2011/06/kontribusi-sibawaihi.html.
[4] file:///D:/sejarah%20ilmu%20nahwu/2011_06_01_archive.html
[5] Syauqi Dhaifh, op. cit., h. 46
      4 عمرو بن العلاء. زهير زاهد جهوده في القراءة والنحو ( دون المكان : د مركز دراسات الخليج العربي البصرة، 1978 )،                                                           ص. 115
تمام حسان، اللغبة بين المعيارية والوصفية (المغرب :دار الثقافة، 1980)، ص. 164..[7]                   
عبده الراجحي، النحو العربي والدرس الحديث ( بيروت: دار النهضة العربية ، 1979 )، ص. 55..[8]                  
نوزاد حسن أحمد، المنهج الوصفي في كتاب سيبويه( بنغاري: منشورات جامعة قان يونس، 1996 )،ص. 26.                          .[9]
 المرجع السابق.، ص. 49[10]       
أحمد سليمان ياقوت، الكتاب بين المعيارية والوصفية(  الاسكندرية دار: المعرفة الجامعية، 1989 )، ص. 44[11]                
 نفس المرجع، ص. 50[12]